Jumat, 27 Juni 2014

HUBUNGAN ILMU FILSAFAT TERHADAP PENDIDIKAN

    (Disusun Oleh : Rudi Salam Sinulingga)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      DASAR PEMIKIRAN
1.      Latar Belakang Pedagogik
Keinginan untuk memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada siswa merupakan dorongan yang logis bagi seorang guru tatkala memerankan dirinya sebagai pengajar, dia akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat tersampaikan kepada siswa dalam waktu singkat tentu saja cara yang paling mudah adalah menggunakan seluruh waktu pertemuan kelas untuk menceramahkan serta meminta siswa untuk siap menerima berbagai informasi disampaikan agar ilmu pengetahuannya bertambah dan terus diupayakan.  
Fungsi dan peran seperti ini sering menempatkan guru pada otoritas berlebihan, seperti sebagai sumber informasi tunggal dan sebagai sentral aktivitas pembelajaran, sehingga siswa mirip sebagai objek pasif, bejana kosong yang harus diisi sejumlah informasi. “Dominasi” guru dalam interaksinya yang pada akhirnya mengur terhambati belajar mengajar di dalam kelas seperti itu dapat menimbulkan apatisme dan sikap pasif siswa Karena kreativitasnya terhambat yang pada akhirnya mengurangi kualitas hasil belajar.
Meskipun diakui tanpa kehadiran dosen, hasil belajar mahasiswa tidak akan maksimal, namun upaya-upaya inovatif untuk memberikan peran yang seimbang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran terus diupayakan. Inovasi ini didasari kesadaran bahwa siswa bukanlah makhluk kosong tanpa “entry behavior” yang tidak memiliki kemampuan dan kecakapan apa pun, akan tetapi sebagai objek berpotensi yang mampu mengkreasi dunia lingkungannya. Sehingga dengan memberikan posisi yang “seimbang” antara aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran akan   memberikan hasil lebih, baik tambahan ilmu pengetahuan, meningkatnya sikap positif, dan bertambahnya keterampilan pada siswa.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan hasil pendidikan, mendorong UNESCO (1988) mendeklerasikan empat pilar pembelajaran yaitu: (1) learning to know (pembelajaran untuk tahu); (2) learning to do (pembelajaran untuk berbuat); (3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri); (4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis). Misi-misi ini, khusunya learning to live together dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, bahkan juga dalam science, tidak mungkin dikembangkan secara speculative thinking sebagaimana dikehendaki oleh filsafat ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang mengembangkan pendidikan secara sistematis untuk  mendalami ilmu itu sendiri (atau menjadi ahli di bidang ilmu tersebut), melainkan bagaimana bidang-bidang ilmu yang ada menjadi alat untuk mengkaji fenomena dan problema sosial serta budaya yang terjadi sehingga seseorang mampu memecahkan masalah sosial dan budaya tersebut. Oleh karena itu,  diharapkan menjadi pribadi anggota keluarga dan masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai pandangan hidup bangsanya. Dengan pemikiran ini, mendorong peran guru tidak hanya menggunakan ceramah menolong atau komunikasi satu arah, melainkan mampu menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialog kreatif.

2.      Dasar Yuridis 
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 ayat 1 butir e dikemukakan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”. Pasal ini memberi peluang kepada para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya dengan dukungan sarana, prasarana dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik dab tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 ayat 2 butir a yang menyatakan bahwa pendidik bekewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis”. Sehingga interaksi belajar yang menolong dan komunikasi satu arah tidak lagi merupakan model pembelajaran yang tunggal, sebab banyak kritik terhadap pendekatan pembelajaran semacam ini, karena sifatnya yang indokrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas mahasiswa sehingga menjadikannya pribadi yang pasif.














BAB II
DASAR PERMASALAHAN
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah diangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Pendidikan menjadi sangat penting bagi setiap generasi yang hidup di Negara manapun, tidak terkecuali Di Indonesia. Melalui pendidikan dengan program beragam dan ditawarkan kepada masyarakat, maka setiap Negara (dalam hal ini pemerintah) akan memiliki berbagai undang-undang, kebijakan, peraturan yang terkait. Peraturan ataupun norma pendidikan itu, lazimnya bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan berupaya pula untuk mengurangi atau mengikis kebodohan yang masih ada pada masyarakat. Bahkan Undang-Undang Pendidikan pun dapat menuai berbagai kritik dan perdebatan yang sangat panjang di berbagai kalangan manakala undang-undang itu dianggap kurang tepat atau cocok. Lihat saja UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengundang diskusi, krtik yang cukup panjang di masyarakat terutama dalam menyoroti Ujian Nasional. Hal ini menandakan bahwa dalam dunia pendidikan bahkan sistem pendidikan telah menjadi sesuatu atau system yang dinamis, terbuka pribadinya daripada kepentingan banyak orang. Sebagai contoh seharusnya bapak guru A tidak membocorkan soal ujian kepada siswanya, tetapi karena ia merasa bahwa sejumlah uang yang cukup besar akan dinikmatinya, maka ia melakukan apa saja yang dianggap menguntungkan dirinya. Sebenarnya ia “lupa” untuk mendengarkan suara hatinya, bahwa apa yang telah dilakukannya telah melanggar kaidah norma kebaikan bagi dirinya, mengabaikan suara hatinya, dan juga merugikan banyak orang. Ujian tersebut terpaksa harus diulang karena pelaku kebocoran ujian telah terungkap. Contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang akan terkait dengan berbagai “elemen” yang ada pada manusia dan berdampak pada munculnya perilaku etis atau perilaku yang baik pada diri seseorang.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.























BAB III
PEMBAHASAN

I. PENGERTIAN FILSAFAT DAN PENDIDIKAN
a.   Pengertian Filsafat
1.   Etimologi Filsafat 
Kata filsafat , atau falsafat  berasal dari bahasa Yunani φίλοσοφίά (baca: philosophia). Kata φίλοσοφίά terdiri dari dua kata yaitu φίλος, (baca: philos) dan σοφίά, (baca: sophia). Φίλος artinya “sahabat” atau “teman” dan σοφίά, artinya “kebijaksanaan” atau “kearifan”. Jadi secara harfiah filsafat berarti sahabat kebijaksanaan.
Kata Φίλος selalu dikaitkan dengan kata φίλέω yang artinya “mencintai” atau “menginginkan”. Bila kata “Φίλος” dikaitkan dengan kata φίλέω, maka filsafat dapat diartikan sebagai suatu keinginan atau upaya yang dilakukan untuk mencapai sesuatu kebijaksanaan. Kata “σοφίά,” dalam arti kebijaksanaan, mencakup pengertian “pandai” dalam arti yang lebih luas.
Dengan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa secara etimologis, filsafat berarti suatu upaya untuk mencapai keinginan agar menjadi pandai dan cinta kepada kebijaksanaan. Dengan struktur kalimat yang lebih bebas dapat dikatakan bahwa filsafat adalah suatu keinginan yang mendasar untuk menjadi bijaksana. Dalam hal ini kata “bijak” atau “bijaksana” memiliki arti yang sangat luas pula sebab kata tersebut bukan saja berarti “pandai” dalam arti intelektual saja. Seandainya yang dimaksud dengan “bijak” hanya dalam arti intelektual saja, maka pemahaman tersebut sangat sempit, sebab tukang sayur juga merupakan orang yang bijak.
Istilah φίλοσοφίά sudah di-Indonesia-kan dengan menggunakan istilah “Filsafat” yang kata sifatnya dalah “filsafati”. Dengan mengacu pada kata sifat “filsafati” maka orang yang berfilsafat disebut dengan istilah “Filsuf”.
Dalam tradisi kuno orang yang pertama menggunakan istilah φίλοσοφίά adalah Phytagoras yang hidup sekitar tahun abad ke-6 sebelum Masehi. Alkisah menceritakan  bahwa ketika Phytagoras ditanya apakah ia seorang yang bijaksana, maka ia menjawab bahwa ia hanya seorang φίλοσοφοσ (baca: philosofos). Yaitu orang yang mencintai pengetahuan.

2.         Defenisi Filsafat
            Pertama-tama harus dikemukakan bahwa dengan hanya menggunakan arti filsafat secara etimologis, tidak mungkin diperoleh defenisi filsafat yang sesungguhnya. Sebab istilah Φίλος selalu dipahami oleh para ahli sesuai dengan konsepsi dan interpretasi mereka atas kedua kata tersebut. Hal ini cenderung menimbulkan perbedaan asumsi di antara  para ahli untuk memahami filsafat tersebut sehingga mengakibatkan arti dan defenisi filsafat diformulasikan mereka secara bervariasi. Untuk memperoleh defenisi filsafat secara esensial perlu terlebih dahulu ditelusuri konsepsi dan defenisi filsafat yang dikemukakan oleh beberapa filsuf menurut konsepsi mereka.
            Phytagoras, yaitu orang yang pertama sekali menggunakan istilah filsafat, member defenisi filsafat sebagai “the love of wisdom”. Bagi Phytagoras, manusia yang mempunyai nilai yang tertinggi adalah manusia yang cinta akan kebijaksanaan. Kebijaksanaan bagi Phytagoras adalah segala bentuk aktivitas seseorang melakukan meditasi tentang Tuhan. Dengan dasar ini, Phytagoras mengklasifikasikan kualitas manusia atas tiga fase, yaitu, pencinta kebijaksanaan, pencinta keberhasilan, dan pencinta kesenangan. Plato mengatakan bahwa “filsafat merupakan suatu pengetahuan yang punya minat untuk memperoleh hakikat kebenaran dan menyelidiki sebab dan azas dari segala sesuatu”. Aristoteles berpandangan bahwa  “filsafat merupakan suatu pengetahuan yang mencari kebenaran dengan melibatkan aneka disiplin ilmu, seperti logika, retorika, estetika, metafisika, politik, ekonomi dan lain-lain”. Filsuf Rene Descartes dari Perancis, yang terkenal dengan teori Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada), mengatakan bahwa “filsafat merupakan kumpulan dari segala ilmu yang objek penyelidikannya adalah Tuhan, alam dan manusia”. Seorang bapak pluralism dan pragmatisme dari Amerika yang bernama William James, seorang filsuf Amerika dan tokoh pragmatisme dan pluralisme, mengatakan bahwa “filsafat merupakan upaya yang luar biasa untuk berpikir dengan jelas terang”. R.F. Berling, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat “mengajkukan pertanyaan tentang esensi, asas, prinsip dari kenyataan”. Dengan dasar ini, iamendefinisikan bahwa filsafat merupakan suatuuasaha untuk mencapai radix atau akar dunia nyata dan akar pengetahuan tentang diri sendiri. Prof.Dr. M.J. Langeveld di dalam bukunya yang berjudul Op Weg Naar Wysgeerig Denken memahami filsafat sebagai berikut: “apakah filsafat itu, akhirnya hanya kita ketahui dengan jalan berfilsafat”. Dengan pemahaman ini dapat dikatakan bahwa bagi Langeveld, filsafat lahir karena ada orang yang berfolsafat. Dengan asumsi ini Langeveld secara tegas membedakan seorang filsuf dan seorang ahli filsafat. Filsuf adalah orang yang menghasilkan karya filsafat sedangkan ahli filsafat adalah orang yang menguasai pengetahuan filsafat, dapat berbicara tentnag filsafat, dapat mengajarkan filsafat, namun ia tidak “Philosophy is an attitude toward  life and the universe” (filsafat merupakan sikap tentang hidup dan dunia); “Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inguiry” (filsafat merupakan suatu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akhliah); “Philosophy is a group of problems” (filsafat merupakan kumpulan masalah-masalah); “Philosophy is a group of systems of thought” (filsafat merupakan suatu kumpulan teori-teori pemikiran). yang
            Masih banyak lagi defenisi filsafat yang diformulasikan oleh para ahli filsafat, yang tidfak mungkin dihadirkan dalam makalah ini. Dari sekian banyak defenisi filsafat yang dihadirkan di sini, bila dicermati, tidak satu pun defenisi tersebut yang sama ataupun identik. Perbedaan-perbedaan defenisi filsafat yang dikemukakan para ahli filsafat terjadi sebagai akibat pengaruh perbedaan keyakinan atau agama, perbedaan lingkungan, perbedaan pandangan hidup para ahli tersebut. Tetapi perbedaan tlerjadi sebagai akibat perbedaan konotasi filsafat secara esensial. Perbedaan itu justru merupakan bukti akan luasnya ruang lingkup filsafat itu sendiri. Bahkan perbedaan ini memang harus terjadi sebab jika pemahaman  para ahli filsafat tentang defenisi filsafat semuanya sama maka hal itu akan cenderung membuat urgensi filsafat itu rendah nilainya.
            Pada awalnya, filsafat berarti suatu sifat yang mencintai kebijaksanaan. Artinya, ada orang yang sungguh-sungguh mempunyai sifat yang mau menajdi orang yang bijaksana. Dengan kecintaannya ini, ia berupaya agar dapat mencapai cita-citanya, yaitu untuk menjadi orang ynag bijaksana. Ini berarti bahwa filsafat merupakan prinsip umum, yang di sana seluruh kenyataan dapat dijelaskan, yang membedakan pengetahuan rasional dengan pengetahuan empiris”. Karena kaluasnya pengertian filsafat, maka Homerus mengkategorikan tukang kayu juga sebagai orang bijak.
            Pada fase kemudian, pengertian filsafat lebih terfokus pada bentuk latihan berpikir untuk memperoleh kesenangan intelektual. Sehubungan dengan pemahaman ini Bertrand Russel mendefiniskan filsafat demikian: “Philosophy is the attempt to answer ultimate question critically”. Menurut defenisi inimaka dapat dipahami bahwa tugas filsafat pada fase ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang paling kompleks, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin lagi dijawab oleh sains. Sejalan dengan defenisi ini William James mendefenisikan “filsafat sebagai kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah terjawab secara memuaskan”. Dengan defenisi ini pengertian filsafat terkesan lebih sempit cakupannya dari pada pengertian filsafat yang ada pada jaman Aristoteles.
           
3.         Asal mula Timbulnya Filsafat         
            Bagaimana asal mulanya timbul filsafat? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan lebih membantu, bila terlebih dahulu diupayakan membaca suatu tulisan bapak Muhammad Hatta dalam bukunya yang berjudul: Alam Pikiran Yunani (1966) yang isinya dikutip sebagai berikut: ,,Tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai dongeng takhayul. Ada yang terjadi dari kisah perintang hario, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi dari muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbuld ari keajaiban alam yang menajdi pangkal heran dan takut. Lama-kelamaan timbul berbagai fantasi. Dengan fantasi itu manusia dapat menyatukan rohnya dengan alam sekitarnya. Orang yang membuat fantasi itu tik ingin membuktikan kebenaran fantasinya karena kesenangan rohnya terletak pada fantasinya itu. Tetapi kemudian ada orang yang ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang yang tidak percaya, ada yang bersifat kritis, lama-kelamaan timbul keinginan pada kebenaran. Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang ajaib pada mereka adalah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk mencuri pengetahuan semata-mata untuk takut saja. Tidak mengharapkan untung dari itu. Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib pada malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, darimana datangnya dan kemana samoainya. Demikianlah selama  beratus tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian ahli-ahli pikir Grik.
            Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa filsafat dapat muncul dari cerita dongeng atau takhayul. Hal ini dapat terjadi dengan adanya orang-orang yang mendengar cerita tersebut yang tidak begitu saja menerima atau menolak kebenaran cerita tersebut. Sehingga ia mengkritisi, agar mendapat informasi tentang kebenaran cerita tersebut. Selain itu, dari cerita tersebut di atas, keindahan alam yang terjadi di malam hari, dapat juga melahirkan filsafat. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat adanya rasa ingin tahu akan rahasia keindahan alam tersebut. Sehingga timbul aneka pertanyaan atau kritik atas keindahan alam tersebut. Rasa ingin tahu yang dikemukakan melalui pengajuan kritik atau pertanyaan merupakan faktor pendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Adanya rasa ingin tahu di dalam diri setiap individu akan menumbuhkan minat bagi individu tersebut untuk melakukan pengamatan, penelitian dan penyelidikan. Dengan adanya ketiga unsur ini di dalam diri setiap individu akan menumbuhkan minat bagi individu maka pengetahuan yang dimiliki mereka akan terus bertumbuh dan berkembang. Rasa ingin tahu juga cenderung akan menimbulkan kesadaran bagi setiap individu untuk mengajukan pertanyaan atau kritik yang relevan. Artinya, pertanyaan ataupun kritik tersebut diajukan  tidak sekedar untuk mengetahui wujud sesuatu, melainkan mengacu pada dasar dan esensi dari sesuatu tersebut. Jadi, filsafat selalu mempertanyakan sesuatu dengan cara berpikir yang mendalam dan universal. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan filsafat bukan hanya yang ada di luar diri manusia, melainkan juga mempertanyakan perihal diri manusia itu sendiri. Sebagai individu yang bertanya, manusia juga mempertanyakan dirinya dan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakannya. Hal ini jugalah yang membuat filsafat itu ada, tetap ada dan akan terus ada. Dan keberadaan filsafat ini akan berakhir apabila manusia telah berhenti bertanya secara radikal dan universal.
       Bagi orang Yunani, berfilsafat muncul sebagai akibat adanya rasa takjubakan keindahan atau misteri keindahan alam, yang menimbulkan rasa ingin tahu. Berkaitan dengan ungkapan ini Plato pernah mengatakan bahwa “filsafat dimulai dari ketakjuban”. Rasa takjub akan selalu menjadi dasar seseorang untuk mengajukan pertanyaan dan pertanyaan selalu mengharapkan jawaban. Seorang pemikir, walaupun ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan Yang diajukannya, ia tidak selalu bias puas, sebab ia selalu menyangsikan jawaban yang diperolehnya tersebut. Karena ia akan selalu mengajukan lagi pertanyaan atas jawaban tersebut, hingga ia bisa menemukan kebenaran yang esensial. Dengan cara demikianlah seseorang akan menjadi seorang filosof. Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan lain-lainnya.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sesungguhnya isi alam yang dapat dinikmati hanya sebagian kecil saja. Misalnya mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan di laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba sesuatu yang ada dipikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu: metafisiska, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
1). Metafisika adalah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat dialam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :
a. Manusia pada hakekatnya adalah spritual. Yang ada adalah jiwa tau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri, pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa Realis.
b. Manusia adalah organisme materi.Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksprementalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan menusia menjadi menyenangkan.
2). Epistemologi adalah filfat yang membahas tentang pergaulan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai beikut :
a. ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1). Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedia, buku teks yang baik, rums dan tabel.
(2). Comman sense yang ada pada adat dan tradisi
(3). Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
(4). Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengelaman
(5).Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b. ada empat teori kebenaran yaitu:
(1). Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsesten dengan kebenaan umum.
(2). Koresponden, sesuatu akan benar bila ia dengan tepat dengan fakta yang jelas.
(3). Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
(4). Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3). Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat.
4). Etika adalah filsafat yang menguaraikan tentang perilaku manusia, Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta didik.
Junjun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang seling berkaitan satu dengan yang lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1). Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan yang lain sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2). Tingkat penjelasan atau teoretis, adalah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoretis. Dengan struktur ini ilmu-ilmu emperis yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintergrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari uraian di atas kita sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoretis dalam bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory.
Pendidikan adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, pendidikan lahir dari induknya filsafat. Sejalandengan proses perkembangan ilmu ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.



b.         Pengertian Pendidikan
1.         Pendidikan Menurut Para Ahli

Kata pendidikan berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata paid yang artinya “anak” dan agogos yang artinya “membimbing”. Itulah sebabnya arti pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
           
Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.


Namun pendidikan juga memiliki pengertian menurut para ahli.
1.      Langeveld mengatakan mendidik adalah membimbing anak dalam mencapai kedewasaan.
2.      Heageveld mengatakan mendidik adalah membantu anak dalam mencapai kedewasaan.
3.      Bojonegoro mengatakan mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangannya dalam mencapai kedewasaan.
4.      Ki Jajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasamani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
5.      Rosseau mengatakan mendidik adalah memberikan pembekalan yang tidak ada pada masa anak-anak tapi dibutuhkan pada masa dewasa.
6.      Darmaningtyas mengatakan tentang defenisi pendidikan yaitu pendidikan sebagai usaha dasar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup dan kemajuan yang lebih baik.
7.      Paulo Freira mengatakan bahwa pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, di mana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan proses kultural yang membebaskan.
8.      Ivan lllic mengatakan pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
9.      Edgar Dalle mengartikan pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan seluruh potensi yang ada di dalam diri manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
10.  Hartoto mengartikan pendidikan merupakan usaha sadar, terencana, sistemtis, dan telaksana secara terus menerus dalam upaya memanusiakan.
11.  Ngalim Purwanto mengartikan pendidikan adalah segala urusan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kea rah kedewasaan.
12.   H. Horne, mengartikan pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap  tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. Dengan kata lain tujuan pendidikann yang utama adalah menjadi manusia yang cerdas, bermartabat, dan memiliki kesadaran etis ketika berada dalam proses pendidikan. Sebagai makhluk individual, manusia perlu menemukan eksistensi jatidirinya. Eksistensi manusia akan memperluas dirinya, belajar untuk dirinya sendiri dan belajar memahami tentang “dunia” di luar dirinya. Meminjam perkataan Heidegger, manusia selalu berada pada in der Welt sein, Ia berada dalam dunianta (dunia pendidikan, dunia kerjha dan sebagainya) untuk  belajar dan mengembangkan serta memiliki tujuan hidup yang penuh makna. Manusia selalu dalam proses becoming (menjadi), proses pencarian eksistensi dan salah satu adalah memenuhi kebutun belajar dalam dunia pendidikan.
                                                                                                                   

2.         Defenisi Pendidikan Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS

Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam,  bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berpikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.

Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah  dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.
Untuk mengatahui  definisi pendidikan  dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan   operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di atas, saya menemukan 3 (tiga) pokok pikiran  utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tersebut.

1.         Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual).  Oleh karena itu, di setiap level manapun,  kegiatan pendidikan harus  disadari dan direncanakan, baik dalam tataran  nasional (makroskopik),  regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun  operasional (proses pembelajaran  oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas),  pada dasarnya setiap kegiatan  pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007.  Menurut Permediknas ini bahwa  perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

2.         Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi pembelajaran.  Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan).  Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, saya menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik.  Selain itu, saya juga  melihat  ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan  suasana  belajar, dan (b) mewujudkan  proses pembelajaran.

a.         Mewujudkan  suasana  belajar
Berbicara tentang  mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan belajar,  diantaranya  mencakup: (a)  lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan  fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif  mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru  dalam mengelola kelas v (classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator  belajar siswa .


b.         Mewujudkan  proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan kondisi dan  pra kondisi  agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana  mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut  untuk dapat mengelola pembelajaran (learning management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian  pembelajaran (lihat  Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi dalam hal ini saya lebih suka menggunakan istilah manajer pembelajaran, dimana guru bertindak  sebagai seorang planner,organizer dan evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran,  proses pembelajaran pun seyogyanya  didesain agar peserta didik dapat secara aktif  mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) dalam bingkai model dan strategi  pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator  belajar.

3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus  menggambarkan  pula  tujuan pendidikan nasional kita , yang  menurut hemat saya sudah  demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan  diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga  dari definisi pendidikan  ini  maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya  tujuan-tujuan  tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan  di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan  pembelajaran yang  dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan  pada tataran operasional  memiliki arti yang strategis  bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan  uraian di atas,  kita melihat bahwa dalam defenisi pendidikan yang  tertuang  dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya  tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu,  tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang  siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa  peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
 c. Hubungan Filsafat Dengan Pendidikan
Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu
Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Obyek penelitian yang terbatas
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
Bertugas memberikan jawaban
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
Keseluruhan yang ada
Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu


Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia, namun demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
1). Apakah pendidikan itu?
2). Apa yang hendak dicapai?
3). Bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan itu?
Masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut. Berbagai pertanyaan yang bertalian dengan apakah pendidikan itu, antara lain :
1). Bagaimana sifat pendidikan itu?
2). Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?
3). Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu?
4). Bagaimana mendefinisikan pendidikan itu ?
5). Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?
6). Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktek?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain :
1). Beberapa proporsi pendidikan yang bersifat umum?
2). Beberapa proporsi pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3). Apakah peserta didik diperbolehkan berkembang bebas?
4). Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?
5). Bagaimana sifat manusia?
6). Dapatkah manusia diperbaiki?
7). Apakah manusia itu sama atau unik?
8). Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi?
9). Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan cara terbaik merealiasi tujuan pendidikan, anatara lain ?
1). Apakah pendidikan harus berpusat pada mata pelajaran atau peserta didik?
2). Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan bebas?
3). Ataukah peserta didik menentukan kurikulumnya sendiri?
4). Apakah lembaga pendidikan permanen atau bersifat tentatif?
5). Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat yang sedang berubah cepat?
6). Apakah diperlukan kondisi-kondisi tertentu dalam membina perkembangan anak?
7). Siapa saja yang perlu dilibatkan dalam mendidik anak-anak?
8). Perkembangan apa saja yang diperlukan dalam proses pendidikan?
9). Apakah dperlukan nilai-nilai penuntun dalam proses pendidikan?
10). Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu, otoriter, primitif, atau
demokratis?
11). Belajar menekan prestasi atau terpusat pada pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?

Menurut Zanti Arbi (1988) Filsafat Pendidikan adalah sebagai berikut.
1). Menginspirasikan
2). Menganalisis
3). Mempreskriptifkan
4). Menginvestigasi
Maksud menginsparasikan adalah memberikan inspirasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filosof memaparkan idennya bagaimana pendidika itu, kemana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta peran pendidik. Sudah tentu ide-ide ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia, masyarakat atau lingkungan, dan negara.
Sementara itu yang dimaksud dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam penyusunan konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancan, umpang tindih, serta arah yang simpang siur. Dengan demkian ide-ide yang komplek bisa dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga dapat ditentukan dengan tepat.
Francis Bacon dalam bukunya The Advencement of Leraning mengemukakan tesis bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur valitditas yang bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu berisikan dari salah satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif sebagai teknik krisis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan.
Mempreskriptifkan dalam filsafat pendidikan adalah upaya mejelaskan atau memberi pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang jelaskan bisa berupa hakekat manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan; proses perkembangan itu sendiri, batas-batas bantuan yang bisa diberikan kepada proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas , target-target pendidikan bila dipandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak-anak.
Johann Herbart dalam bukunya Scence of education menginginkan agar guru mempunyai informasi yang dapat dihandalkan mengenai tujuan pendidikan yang dapat dicapai dan proses belajar sebelum guru ini memasuki kelas. Pondasi pendidikan yang dikontruksi di atas asumsi yang disangsikan kebenarannya atau di atas tradisi yang masih kabur perlu segera diganti dengan informasi-informasi yang valid. Suatu informasi yang direkonstruksi dari atau secara ilmiah.
Yang dimaksud menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meneliti kebenaran suatu teori pendidikan. Pendidikan tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatau konsep atau teori pendidikan untuk dipraktikan dilapangan. Pendidik seharusnya mencari sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan atau melalui penelitian-penelitian. Untuk sementara filsafat pendidikan bisa dipakai latar pengetahuan saja. Selanjutnya setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat pendidikan dimanfaatkan untuk mengevaluasinya, atau sebagai pembanding, untuk kemungkinan sebagai bahan merevisi, agar konsep pendidikan itu menjadi lebih mantap.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyatakan bahwa pengelaman adalah tes terakhir dari segala hal. Mereka memandang pengalaman sebagai panji-panji semua filsafat pendidikan yang mempunyai komitmen terhadap inquiry atau penyelidik. Filosfo berfungsi memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk memanjukan efisiensi sosial. Filsafat pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar-mengajar menurut prosedur pengujian ilmiah dan kemudian memberi komentar tentang nilai atau kemanfaatannya. Filsafat pendidikan mencari konsekuensi proses belajar mengajar, apa yang telah dilakukan, apa kelemahannya, dan bagaimana cara mengatasi kelemahan itu
Para filosof, melalui filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar gografis, sosologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran Perennialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekontruksionis.
Berbagai aliran filafat pendidikan tersebut di atas, memberikan dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas ebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.
Beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia adalah sebagai berikut :
1). Esensialis
2). Perenialis
3). Progresivis
4). Rekonstruksionis
5). Eksistensialisi
Filsafat pendidikan Esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu adalah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin dikenal dengan nama Great Book.
Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan terarah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan, pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif, pengajaran terpusat pada guru.
Filsafat pendidikan Perenialis bahwa kebenaran pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan peenialis. Proses pendidikan meraka sama-sama tradisional.
Filsafat pendidikan Progresivis mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relatif, apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaan adalah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini.
Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik. Hal ini bisa tercapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi pusat pada anak. Untuk mempercepat proses perkembangan mereka juga menekankan prinsip mendisiplin diri sendiri, sosialisasi, dan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan individual juga sangat mereka perhatikan dalam pendidikan.
Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Meraka bercita-cita mengkonstuksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ektrim. Ini berupaya merombak tata susunan kehidupan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.
Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adala eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia didunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan komitmennya sendiri. (Callahan, 1983)
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar langsung. Ilmu pendidikan yaitu menyelidiki, merenungi tentang gejala-gejalan perbuatan mendidik.





BAB IV
PENUTUP
           
Filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Filsafat menjadi sumber dari segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga negara dari suatu bangsa.
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan kita.




















DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta, PT. Rhineka Cipta.
 Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Budi Hardiman, F, (2011), Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta : Erlangga
Esra E. Pangaribuan, MTh, Pdt, (2010) Pengantar Filsafat Manusia, (Diktat Kuliah), Medan : Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan
Tilaar, H.A.R, dkk, (2011), Pedagogik Kritis, Jakarta : PT. Rhineka Cipta
http://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar