(Disusun Oleh : Rudi Salam Sinulingga)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. DASAR PEMIKIRAN
1. Latar
Belakang Pedagogik
Keinginan untuk
memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada siswa merupakan dorongan
yang logis bagi seorang guru tatkala memerankan dirinya sebagai pengajar, dia
akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap ilmu pengetahuan yang dimiliki
dapat tersampaikan kepada siswa dalam waktu singkat tentu saja cara yang paling
mudah adalah menggunakan seluruh waktu pertemuan kelas untuk menceramahkan
serta meminta siswa untuk siap menerima berbagai informasi disampaikan agar
ilmu pengetahuannya bertambah dan terus diupayakan.
Fungsi dan peran
seperti ini sering menempatkan guru pada otoritas berlebihan, seperti sebagai
sumber informasi tunggal dan sebagai sentral aktivitas pembelajaran, sehingga
siswa mirip sebagai objek pasif, bejana kosong yang harus diisi sejumlah
informasi. “Dominasi” guru dalam interaksinya yang pada akhirnya mengur
terhambati belajar mengajar di dalam kelas seperti itu dapat menimbulkan
apatisme dan sikap pasif siswa Karena kreativitasnya terhambat yang pada
akhirnya mengurangi kualitas hasil belajar.
Meskipun diakui
tanpa kehadiran dosen, hasil belajar mahasiswa tidak akan maksimal, namun
upaya-upaya inovatif untuk memberikan peran yang seimbang antara guru dan siswa
dalam proses pembelajaran terus diupayakan. Inovasi ini didasari kesadaran
bahwa siswa bukanlah makhluk kosong tanpa “entry
behavior” yang tidak memiliki kemampuan dan kecakapan apa pun, akan tetapi
sebagai objek berpotensi yang mampu mengkreasi dunia lingkungannya. Sehingga
dengan memberikan posisi yang “seimbang” antara aktivitas guru dan siswa dalam
proses pembelajaran akan memberikan
hasil lebih, baik tambahan ilmu pengetahuan, meningkatnya sikap positif, dan
bertambahnya keterampilan pada siswa.
Upaya untuk
meningkatkan mutu dan hasil pendidikan, mendorong UNESCO (1988) mendeklerasikan
empat pilar pembelajaran yaitu: (1) learning
to know (pembelajaran untuk tahu); (2) learning
to do (pembelajaran untuk berbuat); (3)
learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri); (4) learning to live together
(pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis). Misi-misi ini, khusunya learning to live together dalam
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, bahkan juga dalam science, tidak mungkin dikembangkan secara speculative thinking sebagaimana dikehendaki oleh filsafat
ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang mengembangkan pendidikan secara sistematis
untuk mendalami ilmu itu sendiri (atau
menjadi ahli di bidang ilmu tersebut), melainkan bagaimana bidang-bidang ilmu
yang ada menjadi alat untuk mengkaji fenomena dan problema sosial serta budaya
yang terjadi sehingga seseorang mampu memecahkan masalah sosial dan budaya
tersebut. Oleh karena itu, diharapkan
menjadi pribadi anggota keluarga dan masyarakat yang baik sesuai dengan
nilai-nilai pandangan hidup bangsanya. Dengan pemikiran ini, mendorong peran
guru tidak hanya menggunakan ceramah menolong atau komunikasi satu arah,
melainkan mampu menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialog kreatif.
2. Dasar
Yuridis
Dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 ayat 1 butir e
dikemukakan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh
kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”. Pasal ini memberi peluang kepada para
guru untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya dengan dukungan sarana,
prasarana dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban
pendidik dab tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 ayat 2 butir a
yang menyatakan bahwa pendidik bekewajiban “menciptakan suasana yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis”. Sehingga interaksi belajar yang
menolong dan komunikasi satu arah tidak lagi merupakan model pembelajaran yang
tunggal, sebab banyak kritik terhadap pendekatan pembelajaran semacam ini,
karena sifatnya yang indokrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas
mahasiswa sehingga menjadikannya pribadi yang pasif.
BAB
II
DASAR
PERMASALAHAN
Pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu
sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk
mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat berarti
berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kemestaan yang
seakan tak terbatas. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah diangkau.
Ilmu
merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan lanjutan dan
perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri
sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia
juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris.
Filsafat membahas sesuatu
dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang
sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa
diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya
sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang
di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai
kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran
dan renungan yang kritis.
Pendidikan menjadi sangat penting bagi setiap
generasi yang hidup di Negara manapun, tidak terkecuali Di Indonesia. Melalui
pendidikan dengan program beragam dan ditawarkan kepada masyarakat, maka setiap
Negara (dalam hal ini pemerintah) akan memiliki berbagai undang-undang,
kebijakan, peraturan yang terkait. Peraturan ataupun norma pendidikan itu,
lazimnya bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan berupaya pula untuk mengurangi
atau mengikis kebodohan yang masih ada pada masyarakat. Bahkan Undang-Undang
Pendidikan pun dapat menuai berbagai kritik dan perdebatan yang sangat panjang
di berbagai kalangan manakala undang-undang itu dianggap kurang tepat atau
cocok. Lihat saja UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
mengundang diskusi, krtik yang cukup panjang di masyarakat terutama dalam
menyoroti Ujian Nasional. Hal ini menandakan bahwa dalam dunia pendidikan
bahkan sistem pendidikan telah menjadi sesuatu atau system yang dinamis,
terbuka pribadinya daripada kepentingan banyak orang. Sebagai contoh seharusnya
bapak guru A tidak membocorkan soal ujian kepada siswanya, tetapi karena ia
merasa bahwa sejumlah uang yang cukup besar akan dinikmatinya, maka ia melakukan
apa saja yang dianggap menguntungkan dirinya. Sebenarnya ia “lupa” untuk
mendengarkan suara hatinya, bahwa apa yang telah dilakukannya telah melanggar
kaidah norma kebaikan bagi dirinya, mengabaikan suara hatinya, dan juga
merugikan banyak orang. Ujian tersebut terpaksa harus diulang karena pelaku
kebocoran ujian telah terungkap. Contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku
seseorang akan terkait dengan berbagai “elemen” yang ada pada manusia dan
berdampak pada munculnya perilaku etis atau perilaku yang baik pada diri
seseorang.
Sedangkan pendidikan
merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan
lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu,
ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada
awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah
bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh
manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan
peningkatan hidup manusia.
BAB
III
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN FILSAFAT DAN PENDIDIKAN
a. Pengertian Filsafat
1. Etimologi Filsafat
Kata filsafat ,
atau falsafat berasal dari bahasa Yunani φίλοσοφίά (baca:
philosophia). Kata φίλοσοφίά terdiri dari dua kata yaitu φίλος, (baca: philos)
dan σοφίά, (baca: sophia). Φίλος artinya “sahabat” atau “teman” dan σοφίά,
artinya “kebijaksanaan” atau “kearifan”. Jadi secara harfiah filsafat berarti
sahabat kebijaksanaan.
Kata Φίλος selalu dikaitkan dengan kata φίλέω yang
artinya “mencintai” atau “menginginkan”. Bila kata “Φίλος” dikaitkan dengan
kata φίλέω, maka filsafat dapat diartikan sebagai suatu keinginan atau upaya
yang dilakukan untuk mencapai sesuatu kebijaksanaan. Kata “σοφίά,” dalam arti kebijaksanaan, mencakup pengertian
“pandai” dalam arti yang lebih luas.
Dengan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa secara
etimologis, filsafat berarti suatu upaya untuk mencapai keinginan agar menjadi
pandai dan cinta kepada kebijaksanaan. Dengan struktur kalimat yang lebih bebas
dapat dikatakan bahwa filsafat adalah suatu keinginan yang mendasar untuk
menjadi bijaksana. Dalam hal ini kata “bijak” atau “bijaksana” memiliki arti yang
sangat luas pula sebab kata tersebut bukan saja berarti “pandai” dalam arti
intelektual saja. Seandainya yang dimaksud dengan “bijak” hanya dalam arti
intelektual saja, maka pemahaman tersebut sangat sempit, sebab tukang sayur
juga merupakan orang yang bijak.
Istilah φίλοσοφίά sudah di-Indonesia-kan dengan
menggunakan istilah “Filsafat” yang kata sifatnya dalah “filsafati”. Dengan
mengacu pada kata sifat “filsafati” maka orang yang berfilsafat disebut dengan
istilah “Filsuf”.
Dalam tradisi kuno orang yang pertama menggunakan istilah
φίλοσοφίά adalah Phytagoras yang hidup sekitar tahun abad ke-6 sebelum Masehi.
Alkisah menceritakan bahwa ketika
Phytagoras ditanya apakah ia seorang yang bijaksana, maka ia menjawab bahwa ia
hanya seorang φίλοσοφοσ (baca: philosofos). Yaitu orang yang mencintai
pengetahuan.
2.
Defenisi Filsafat
Pertama-tama harus dikemukakan bahwa dengan hanya
menggunakan arti filsafat secara etimologis, tidak mungkin diperoleh defenisi
filsafat yang sesungguhnya. Sebab istilah Φίλος selalu dipahami oleh para ahli
sesuai dengan konsepsi dan interpretasi mereka atas kedua kata tersebut. Hal
ini cenderung menimbulkan perbedaan asumsi di antara para ahli untuk memahami filsafat tersebut
sehingga mengakibatkan arti dan defenisi filsafat diformulasikan mereka secara
bervariasi. Untuk memperoleh defenisi filsafat secara esensial perlu terlebih
dahulu ditelusuri konsepsi dan defenisi filsafat yang dikemukakan oleh beberapa
filsuf menurut konsepsi mereka.
Phytagoras, yaitu orang yang pertama
sekali menggunakan istilah filsafat,
member defenisi filsafat sebagai “the love of wisdom”. Bagi Phytagoras, manusia
yang mempunyai nilai yang tertinggi adalah manusia yang cinta akan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan bagi Phytagoras adalah segala bentuk aktivitas seseorang
melakukan meditasi tentang Tuhan. Dengan dasar ini, Phytagoras
mengklasifikasikan kualitas manusia atas tiga fase, yaitu, pencinta
kebijaksanaan, pencinta keberhasilan, dan pencinta kesenangan. Plato mengatakan bahwa “filsafat
merupakan suatu pengetahuan yang punya minat untuk memperoleh hakikat kebenaran
dan menyelidiki sebab dan azas dari segala sesuatu”. Aristoteles berpandangan bahwa
“filsafat merupakan suatu pengetahuan yang mencari kebenaran dengan
melibatkan aneka disiplin ilmu, seperti logika, retorika, estetika, metafisika,
politik, ekonomi dan lain-lain”. Filsuf Rene
Descartes dari Perancis, yang terkenal dengan teori Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada), mengatakan bahwa
“filsafat merupakan kumpulan dari segala ilmu yang objek penyelidikannya adalah
Tuhan, alam dan manusia”. Seorang bapak pluralism dan pragmatisme dari Amerika
yang bernama William James, seorang
filsuf Amerika dan tokoh pragmatisme dan pluralisme, mengatakan bahwa “filsafat
merupakan upaya yang luar biasa untuk berpikir dengan jelas terang”. R.F. Berling, dalam bukunya Filsafat
Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat “mengajkukan pertanyaan tentang
esensi, asas, prinsip dari kenyataan”. Dengan dasar ini, iamendefinisikan bahwa
filsafat merupakan suatuuasaha untuk mencapai radix atau akar dunia nyata dan akar pengetahuan tentang diri
sendiri. Prof.Dr. M.J. Langeveld di
dalam bukunya yang berjudul Op Weg Naar
Wysgeerig Denken memahami filsafat sebagai berikut: “apakah filsafat itu,
akhirnya hanya kita ketahui dengan jalan berfilsafat”. Dengan pemahaman ini
dapat dikatakan bahwa bagi Langeveld, filsafat lahir karena ada orang yang
berfolsafat. Dengan asumsi ini Langeveld secara tegas membedakan seorang filsuf
dan seorang ahli filsafat. Filsuf adalah orang yang menghasilkan karya filsafat
sedangkan ahli filsafat adalah orang yang menguasai pengetahuan filsafat, dapat
berbicara tentnag filsafat, dapat mengajarkan filsafat, namun ia tidak “Philosophy is an attitude toward life and the universe” (filsafat
merupakan sikap tentang hidup dan dunia); “Philosophy
is a method of reflective thinking and reasoned inguiry” (filsafat
merupakan suatu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akhliah); “Philosophy is a group of problems”
(filsafat merupakan kumpulan masalah-masalah); “Philosophy is a group of systems of thought” (filsafat merupakan
suatu kumpulan teori-teori pemikiran). yang
Masih
banyak lagi defenisi filsafat yang diformulasikan oleh para ahli filsafat, yang
tidfak mungkin dihadirkan dalam makalah ini. Dari sekian banyak defenisi
filsafat yang dihadirkan di sini, bila dicermati, tidak satu pun defenisi
tersebut yang sama ataupun identik. Perbedaan-perbedaan defenisi filsafat yang
dikemukakan para ahli filsafat terjadi sebagai akibat pengaruh perbedaan
keyakinan atau agama, perbedaan lingkungan, perbedaan pandangan hidup para ahli
tersebut. Tetapi perbedaan tlerjadi sebagai akibat perbedaan konotasi filsafat
secara esensial. Perbedaan itu justru merupakan bukti akan luasnya ruang
lingkup filsafat itu sendiri. Bahkan perbedaan ini memang harus terjadi sebab
jika pemahaman para ahli filsafat
tentang defenisi filsafat semuanya sama maka hal itu akan cenderung membuat urgensi
filsafat itu rendah nilainya.
Pada
awalnya, filsafat berarti suatu sifat yang
mencintai kebijaksanaan. Artinya, ada orang yang sungguh-sungguh mempunyai
sifat yang mau menajdi orang yang bijaksana. Dengan kecintaannya ini, ia
berupaya agar dapat mencapai cita-citanya, yaitu untuk menjadi orang ynag
bijaksana. Ini berarti bahwa filsafat merupakan prinsip umum, yang di sana
seluruh kenyataan dapat dijelaskan, yang membedakan pengetahuan rasional dengan
pengetahuan empiris”. Karena kaluasnya pengertian filsafat, maka Homerus mengkategorikan tukang kayu
juga sebagai orang bijak.
Pada
fase kemudian, pengertian filsafat lebih terfokus pada bentuk latihan berpikir
untuk memperoleh kesenangan intelektual. Sehubungan dengan pemahaman ini Bertrand Russel mendefiniskan filsafat
demikian: “Philosophy is the attempt to
answer ultimate question critically”. Menurut defenisi inimaka dapat
dipahami bahwa tugas filsafat pada fase ini adalah untuk menjawab pertanyaan
yang paling kompleks, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin lagi
dijawab oleh sains. Sejalan dengan defenisi ini William James mendefenisikan
“filsafat sebagai kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah terjawab
secara memuaskan”. Dengan defenisi ini pengertian filsafat terkesan lebih
sempit cakupannya dari pada pengertian filsafat yang ada pada jaman
Aristoteles.
3.
Asal mula Timbulnya Filsafat
Bagaimana
asal mulanya timbul filsafat? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan lebih
membantu, bila terlebih dahulu diupayakan membaca suatu tulisan bapak Muhammad
Hatta dalam bukunya yang berjudul: Alam
Pikiran Yunani (1966) yang isinya dikutip sebagai berikut: ,,Tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai
dongeng takhayul. Ada yang terjadi dari kisah perintang hario, keluar dari
mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi dari muslihat menakut-nakuti
anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbuld ari keajaiban alam yang
menajdi pangkal heran dan takut. Lama-kelamaan timbul berbagai fantasi. Dengan
fantasi itu manusia dapat menyatukan rohnya dengan alam sekitarnya. Orang yang
membuat fantasi itu tik ingin membuktikan kebenaran fantasinya karena kesenangan
rohnya terletak pada fantasinya itu. Tetapi kemudian ada orang yang ingin
mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang yang tidak percaya, ada yang
bersifat kritis, lama-kelamaan timbul keinginan pada kebenaran. Orang-orang
Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang ajaib pada
mereka adalah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk mencuri
pengetahuan semata-mata untuk takut saja. Tidak mengharapkan untung dari itu.
Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib pada
malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu.
Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, darimana datangnya dan kemana
samoainya. Demikianlah selama beratus
tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian ahli-ahli pikir Grik.
Dari
kutipan ini dapat dipahami bahwa filsafat dapat muncul dari cerita dongeng atau
takhayul. Hal ini dapat terjadi dengan adanya orang-orang yang mendengar cerita
tersebut yang tidak begitu saja menerima atau menolak kebenaran cerita
tersebut. Sehingga ia mengkritisi, agar mendapat informasi tentang kebenaran
cerita tersebut. Selain itu, dari cerita tersebut di atas, keindahan alam yang terjadi di malam hari, dapat juga melahirkan
filsafat. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat adanya rasa ingin tahu akan
rahasia keindahan alam tersebut. Sehingga timbul aneka pertanyaan atau kritik
atas keindahan alam tersebut. Rasa ingin tahu yang dikemukakan melalui
pengajuan kritik atau pertanyaan merupakan faktor pendukung perkembangan ilmu
pengetahuan. Adanya rasa ingin tahu di dalam diri setiap individu akan
menumbuhkan minat bagi individu tersebut untuk melakukan pengamatan, penelitian
dan penyelidikan. Dengan adanya ketiga unsur ini di dalam diri setiap individu
akan menumbuhkan minat bagi individu maka pengetahuan yang dimiliki mereka akan
terus bertumbuh dan berkembang. Rasa ingin tahu juga cenderung akan menimbulkan
kesadaran bagi setiap individu untuk mengajukan pertanyaan atau kritik yang
relevan. Artinya, pertanyaan ataupun kritik tersebut diajukan tidak sekedar untuk mengetahui wujud sesuatu, melainkan mengacu pada dasar
dan esensi dari sesuatu tersebut.
Jadi, filsafat selalu mempertanyakan sesuatu dengan cara berpikir yang mendalam
dan universal. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan filsafat bukan hanya yang
ada di luar diri manusia, melainkan juga mempertanyakan perihal diri manusia
itu sendiri. Sebagai individu yang bertanya, manusia juga mempertanyakan
dirinya dan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakannya. Hal ini jugalah yang
membuat filsafat itu ada, tetap ada dan akan terus ada. Dan keberadaan filsafat ini akan berakhir
apabila manusia telah berhenti bertanya secara radikal dan universal.
Bagi orang
Yunani, berfilsafat muncul sebagai akibat adanya rasa takjubakan keindahan atau misteri keindahan alam, yang
menimbulkan rasa ingin tahu. Berkaitan dengan ungkapan ini Plato pernah mengatakan bahwa “filsafat dimulai dari ketakjuban”.
Rasa takjub akan selalu menjadi dasar seseorang untuk mengajukan pertanyaan dan
pertanyaan selalu mengharapkan jawaban. Seorang pemikir, walaupun ia telah
menemukan jawaban atas pertanyaan Yang diajukannya, ia tidak selalu bias puas,
sebab ia selalu menyangsikan jawaban yang diperolehnya tersebut. Karena ia akan
selalu mengajukan lagi pertanyaan atas jawaban tersebut, hingga ia bisa
menemukan kebenaran yang esensial. Dengan cara demikianlah seseorang akan
menjadi seorang filosof. Filsafat
adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai
keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti
tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal
tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu
yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat
yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan
lain-lainnya.
Filsafat
membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran
filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan
kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari
segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sesungguhnya isi alam yang dapat
dinikmati hanya sebagian kecil saja. Misalnya mengamati gunung es, hanya mampu
melihat yang di atas permukaan di laut saja. Sementara itu filsafat mencoba
menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba sesuatu yang ada dipikiran
dan renungan yang kritis.
Dalam
garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu: metafisiska, epistemologi,
logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
1). Metafisika adalah filsafat yang
meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat dialam ini. Dalam
kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :
a. Manusia pada hakekatnya adalah
spritual. Yang ada adalah jiwa tau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan
berkewajiban membebaskan jwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk
mengaktualisasikan diri, pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik,
dan beberapa Realis.
b. Manusia adalah organisme
materi.Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksprementalis,
Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan
berkewajiban membuat kehidupan menusia menjadi menyenangkan.
2). Epistemologi adalah filfat yang
membahas tentang pergaulan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai
beikut :
a. ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1). Otoritas, yang terdapat dalam
ensiklopedia, buku teks yang baik, rums dan tabel.
(2). Comman sense yang ada pada adat dan
tradisi
(3). Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
(4). Pikiran untuk menyimpulkan hasil
pengelaman
(5).Pengalaman yang terkontrol untuk
mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b. ada empat teori kebenaran yaitu:
(1). Koheren, sesuatu akan benar bila ia
konsesten dengan kebenaan umum.
(2). Koresponden, sesuatu akan benar
bila ia dengan tepat dengan fakta yang jelas.
(3). Pragmatisme, sesuatu dipandang
benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
(4). Skeptivisme, kebenaran dicari
secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3). Logika adalah filsafat yang membahas
tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika
diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat.
4). Etika adalah filsafat yang menguaraikan
tentang perilaku manusia, Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi
pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi
pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangan perilaku manusia, anatara
lain afeksi peserta didik.
Junjun
(1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang seling
berkaitan satu dengan yang lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud
adalah:
1). Tingkat empiris adalah
ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri, baru
sedikit bertautan dengan penemuan yang lain sejenis. Pada tingkat ini wujud
ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum
lengkap.
2). Tingkat penjelasan atau
teoretis, adalah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoretis.
Dengan struktur ini ilmu-ilmu emperis yang masih terpisah-pisah itu dicari
kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara
ini struktur berusaha mengintergrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu
pola yang berarti.
Dari
uraian di atas kita sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa
simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoretis dalam bentuk
teori-teori atau grand theory-grand theory.
Pendidikan
adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang
lain, pendidikan lahir dari induknya filsafat. Sejalandengan proses
perkembangan ilmu ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari
induknya. Pada awalnya pendidikan bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak
pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan
oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan
manusia, dan peningkatan hidup manusia.
b.
Pengertian Pendidikan
1.
Pendidikan Menurut Para Ahli
Kata pendidikan berasal dari kata pedagogi,
yaitu dari kata paid yang artinya
“anak” dan agogos yang artinya
“membimbing”. Itulah sebabnya arti pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan
seni mengajar anak”. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan
mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses
atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dengan perkembangan zaman
di dunia pendidikan yang terus berubah
dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir
yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh
dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut
pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk
mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Tujuan pendidikan adalah
menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki
pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan
dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan.
Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita
untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan bisa
saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang
dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan
ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Namun pendidikan juga memiliki pengertian menurut para ahli.
1.
Langeveld
mengatakan mendidik adalah membimbing anak dalam mencapai kedewasaan.
2.
Heageveld
mengatakan mendidik adalah membantu anak dalam mencapai kedewasaan.
3.
Bojonegoro
mengatakan mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa
dalam pertumbuhan dan perkembangannya dalam mencapai kedewasaan.
4.
Ki
Jajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi
pekerti, pikiran serta jasamani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup
yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
5.
Rosseau
mengatakan mendidik adalah memberikan pembekalan yang tidak ada pada masa
anak-anak tapi dibutuhkan pada masa dewasa.
6.
Darmaningtyas
mengatakan tentang defenisi pendidikan yaitu pendidikan sebagai usaha dasar dan
sistematis untuk mencapai taraf hidup dan kemajuan yang lebih baik.
7.
Paulo
Freira mengatakan bahwa pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang
permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap dimana
manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, di mana melalui praksis mengubah
keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan proses
kultural yang membebaskan.
8.
Ivan
lllic mengatakan pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup.
9.
Edgar
Dalle mengartikan pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam
mengembangkan seluruh potensi yang ada di dalam diri manusia untuk menjadi
manusia yang seutuhnya.
10. Hartoto mengartikan pendidikan merupakan usaha sadar,
terencana, sistemtis, dan telaksana secara terus menerus dalam upaya
memanusiakan.
11. Ngalim Purwanto mengartikan pendidikan adalah segala
urusan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya kea rah kedewasaan.
12.
H.
Horne, mengartikan pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari
penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara
fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi
dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. Dengan kata lain tujuan pendidikann yang utama adalah menjadi manusia yang cerdas, bermartabat, dan memiliki kesadaran etis ketika berada dalam proses pendidikan. Sebagai makhluk individual, manusia perlu menemukan eksistensi jatidirinya. Eksistensi manusia akan memperluas dirinya, belajar untuk dirinya sendiri dan belajar memahami tentang “dunia” di luar dirinya. Meminjam perkataan Heidegger, manusia selalu berada pada in der Welt sein, Ia berada dalam dunianta (dunia pendidikan, dunia kerjha dan sebagainya) untuk belajar dan mengembangkan serta memiliki tujuan hidup yang penuh makna. Manusia selalu dalam proses becoming (menjadi), proses pencarian eksistensi dan salah satu adalah memenuhi kebutun belajar dalam dunia pendidikan.
2. Defenisi Pendidikan Menurut UU No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS
Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali
diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut
pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan
penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah,
bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berpikir manusia dan bermanfaat untuk
pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan
kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan
mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga
setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap
praktik pendidikan.
Untuk mengatahui
definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki
rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No.
20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di atas, saya menemukan 3 (tiga) pokok pikiran
utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana;
(2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan
dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tersebut.
1. Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang
disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh
karena itu, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus
disadari dan direncanakan, baik dalam tataran nasional (makroskopik),
regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah
(mikroskopik) maupun operasional (proses pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti
terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun harus
direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas
ini bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran,
standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian
kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber
belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi
pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan
lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan).
Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran
kedua ini, saya menangkap
pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak
pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu
berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang
bergaya behavioristik. Selain itu, saya juga melihat ada dua
kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana
belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
a. Mewujudkan
suasana belajar
Berbicara tentang
mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan
lingkungan belajar, diantaranya mencakup: (a) lingkungan
fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala
sekolah, ruang guru, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan
(b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti:
komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan,
kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan
peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan
guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru dalam mengelola kelas
v (classroom management) menjadi amat penting. Dan di
sini pula, tampak bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator belajar siswa .
b. Mewujudkan
proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan
untuk menciptakan kondisi dan pra kondisi agar siswa belajar,
sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks
pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat
mengelola pembelajaran (learning management),
yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran
(lihat Permendiknas
RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan
sebagai agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun
2005), tetapi dalam hal ini saya lebih suka menggunakan istilah manajer pembelajaran,
dimana guru bertindak sebagai seorang planner,organizer dan evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran,
proses pembelajaran pun seyogyanya didesain agar peserta didik dapat
secara aktif mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan
mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) dalam bingkai model dan
strategi pembelajaran aktif (active learning),
ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian
dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan pula tujuan
pendidikan nasional kita , yang menurut hemat saya sudah demikian
lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki
bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula
pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan
diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar
disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang
ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya
pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang
baru.
Selanjutnya
tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan
di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui
tujuan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses
pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional
memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di
atas, kita melihat bahwa dalam defenisi pendidikan yang
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar
menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi
yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa peserta
didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai
oleh pendidikan.
c. Hubungan Filsafat Dengan Pendidikan
Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika,
yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis
dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif
antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada
akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Ditinjau dari segi historis,
hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang
sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan
yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian
menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans
(1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke
17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu
pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan
bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem
filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono
(1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya,
berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu
pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa
peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun
sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut
Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya
dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu
dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara
ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang
dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka
bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan
pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa
filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang
lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam
The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the
great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan,
karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi antara ilmu dan
filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang
dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa
kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam
Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat
ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan
satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati
sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya
tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam
pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan
mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai
untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai
pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan
merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat
diandalkan.
Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada
baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di
bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu
|
Filsafat
|
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti
Obyek penelitian yang
terbatas
Tidak menilai obyek dari
suatu sistem nilai tertentu.
Bertugas memberikan jawaban
|
Mencoba merumuskan pertanyaan
atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya
bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
Keseluruhan yang ada
Menilai obyek renungan dengan
suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.
Bertugas mengintegrasikan
ilmu-ilmu
|
Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran
dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Ada
sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia, namun
demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai
berikut:
1). Apakah
pendidikan itu?
2). Apa
yang hendak dicapai?
3). Bagaimana
cara terbaik merealisasikan tujuan itu?
Masing-masing
pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut. Berbagai pertanyaan yang bertalian
dengan apakah pendidikan itu, antara lain :
1). Bagaimana sifat pendidikan itu?
2). Apakah pendidikan itu merupakan
sosialisasi?
3). Apakah pendidikan itu sebagai
pengembangan individu?
4). Bagaimana mendefinisikan
pendidikan itu ?
5). Apakah pendidikan itu berperan penting
dalam membina perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?
6). Apakah perlu membedakan pendidikan
teori dengan pendidikan praktek?
Pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan,
antara lain :
1). Beberapa proporsi pendidikan yang
bersifat umum?
2). Beberapa proporsi pendidikan khusus
yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3). Apakah peserta didik diperbolehkan
berkembang bebas?
4). Apakah perkembangan peserta didik
diarahkan ke nilai tertentu?
5). Bagaimana sifat manusia?
6). Dapatkah manusia diperbaiki?
7). Apakah manusia itu sama atau unik?
8). Apakah ilmu dan teknologi
satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi?
9). Apakah tidak ada kebenaran lain
yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan
yang bertalian dengan cara terbaik merealiasi tujuan pendidikan, anatara lain ?
1). Apakah pendidikan harus berpusat
pada mata pelajaran atau peserta didik?
2). Apakah kurikulum ditentukan lebih
dahulu atau berupa pilihan bebas?
3). Ataukah peserta didik menentukan
kurikulumnya sendiri?
4). Apakah lembaga pendidikan permanen
atau bersifat tentatif?
5). Apakah proses pendidikan berbaur
pada masyarakat yang sedang berubah cepat?
6). Apakah diperlukan kondisi-kondisi
tertentu dalam membina perkembangan anak?
7). Siapa saja yang perlu dilibatkan
dalam mendidik anak-anak?
8). Perkembangan apa saja yang
diperlukan dalam proses pendidikan?
9). Apakah dperlukan nilai-nilai
penuntun dalam proses pendidikan?
10). Bagaimana sebaiknya proses pendidikan
itu, otoriter, primitif, atau
demokratis?
11). Belajar menekan prestasi atau terpusat
pada pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?
Menurut Zanti Arbi (1988)
Filsafat Pendidikan adalah sebagai berikut.
1). Menginspirasikan
2). Menganalisis
3). Mempreskriptifkan
4). Menginvestigasi
Maksud menginsparasikan adalah
memberikan
inspirasi
kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui
filsafat tentang pendidikan, filosof memaparkan idennya bagaimana pendidika
itu, kemana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima
pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta peran pendidik. Sudah tentu
ide-ide ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia,
masyarakat atau lingkungan, dan negara.
Sementara itu yang dimaksud dengan menganalisis dalam
filsafat pendidikan adalah memeriksa teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat
diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam
penyusunan konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancan, umpang tindih,
serta arah yang simpang siur. Dengan demkian ide-ide yang komplek bisa
dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya
juga dapat ditentukan dengan tepat.
Francis Bacon dalam bukunya The Advencement
of Leraning mengemukakan tesis bahwa kebanyakan pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur valitditas yang bermanfaat
dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu berisikan dari
salah satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon
menggunakan logika induktif sebagai teknik krisis atau analisis untuk menemukan
arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan
logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan.
Mempreskriptifkan dalam
filsafat pendidikan adalah upaya mejelaskan atau memberi pengarahan kepada
pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang jelaskan bisa berupa hakekat manusia
bila dibandingkan dengan mahluk lain, aspek-aspek peserta didik yang patut
dikembangkan; proses perkembangan itu sendiri, batas-batas bantuan yang bisa
diberikan kepada proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan
pendidik, arah pendidikan yang jelas , target-target pendidikan bila dipandang
perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minat anak-anak.
Johann Herbart dalam bukunya Scence
of education menginginkan agar guru mempunyai informasi yang dapat
dihandalkan mengenai tujuan pendidikan yang dapat dicapai dan proses belajar
sebelum guru ini memasuki kelas. Pondasi pendidikan yang dikontruksi di atas
asumsi yang disangsikan kebenarannya atau di atas tradisi yang masih kabur
perlu segera diganti dengan informasi-informasi yang valid. Suatu informasi
yang direkonstruksi dari atau secara ilmiah.
Yang dimaksud menginvestigasi dalam
filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meneliti kebenaran suatu teori
pendidikan. Pendidikan tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatau konsep
atau teori pendidikan untuk dipraktikan dilapangan. Pendidik seharusnya mencari
sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan atau melalui
penelitian-penelitian. Untuk sementara filsafat pendidikan bisa dipakai latar
pengetahuan saja. Selanjutnya setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah
filsafat pendidikan dimanfaatkan untuk mengevaluasinya, atau sebagai
pembanding, untuk kemungkinan sebagai bahan merevisi, agar konsep pendidikan
itu menjadi lebih mantap.
John Dewey dalam bukunya Democracy
and Education menyatakan bahwa pengelaman adalah tes terakhir dari
segala hal. Mereka memandang pengalaman sebagai panji-panji semua filsafat
pendidikan yang mempunyai komitmen terhadap inquiry atau
penyelidik. Filosfo berfungsi memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk
memanjukan efisiensi sosial. Filsafat pendidikan berusaha menafsirkan proses
belajar-mengajar menurut prosedur pengujian ilmiah dan kemudian memberi
komentar tentang nilai atau kemanfaatannya. Filsafat pendidikan mencari
konsekuensi proses belajar mengajar, apa yang telah dilakukan, apa
kelemahannya, dan bagaimana cara mengatasi kelemahan itu
Para filosof, melalui filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan
pendidik maupun ditinjau dari latar gografis, sosologis, dan budaya suatu
bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran
Perennialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan
dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran
Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekontruksionis.
Berbagai aliran filafat pendidikan tersebut
di atas, memberikan dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori
pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung filsafat
pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan
juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas ebenaran
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori
pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.
Beberapa aliran filsafat pendidikan yang
dominan di dunia adalah sebagai berikut :
1). Esensialis
2). Perenialis
3). Progresivis
4). Rekonstruksionis
5). Eksistensialisi
Filsafat
pendidikan Esensialis bertitik
tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran
seperti itulah yang esensial, yang lain adalah kebenaran secara kebetulan saja.
Kebenaran esensial itu adalah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi
yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin dikenal dengan
nama Great Book.
Tekanan
pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan
mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa latin yang sulit
itu, diyakini otak peserta didik akan terarah dengan baik dan logikanya akan
berkembang. Disiplin sangat diperhatikan, pelajaran dibuat sangat berstruktur,
dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian
rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif, pengajaran terpusat pada
guru.
Filsafat
pendidikan Perenialis bahwa kebenaran
pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri
peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara
esensialis dengan peenialis. Proses pendidikan meraka sama-sama tradisional.
Filsafat
pendidikan Progresivis mempunyai jiwa
perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata.
Menurut filsafat ini tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada
kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relatif, apa yang
sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu
masih tetap benar. Ukuran kebenaan adalah yang berguna bagi kehidupan manusia
hari ini.
Sebagai
konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah
mengembangan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang
baik. Hal ini bisa tercapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang
dilakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi pusat pada
anak. Untuk mempercepat proses perkembangan mereka juga menekankan prinsip
mendisiplin diri sendiri, sosialisasi, dan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan
individual juga sangat mereka perhatikan dalam pendidikan.
Filsafat
pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi
dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus
diperbaiki (Callahan, 1983). Meraka bercita-cita mengkonstuksi kembali
kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat
baru aliran yang ektrim. Ini berupaya merombak tata susunan kehidupan
masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui
lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian
dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.
Filsafat
pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa
kenyataan atau kebenaran adala eksistensi atau adanya individu manusia itu
sendiri. Adanya manusia didunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi
terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu
ditentukan oleh keputusan komitmennya sendiri. (Callahan, 1983)
Pendidikan
menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu,
memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan
pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen
diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif sendiri,
merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun
kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung
dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai
dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis
dengan teknik mengajar langsung. Ilmu pendidikan yaitu menyelidiki, merenungi
tentang gejala-gejalan perbuatan mendidik.
BAB
IV
PENUTUP
Filsafat adalah kebenaran
menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya
relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh
manusia saja. Filsafat menjadi sumber dari segala kegiatan manusia atau
mewarnai semua aktivitas warga negara dari suatu bangsa.
Pendidikan
adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
lingkungan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu
Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Pidarta, Made. 1997. Landasan
Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta, PT.
Rhineka Cipta.
Moh. Nazir, (1983), Metode
Penelitian, Jakarta
: Ghalia Indonesia
Jujun
S. Suriasumantri, (1982), Filsafah
Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Agraha
Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat
Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Budi Hardiman, F, (2011), Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern, Jakarta : Erlangga
Esra E. Pangaribuan, MTh, Pdt, (2010)
Pengantar Filsafat Manusia, (Diktat
Kuliah), Medan : Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan
Tilaar, H.A.R, dkk, (2011), Pedagogik Kritis, Jakarta : PT. Rhineka
Cipta
http://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar